Kenapa saya menyukai
sastra? Karena itu satu-satunya jalan pelarian saya yang paling rasional.
Mungkin itulah jawaban yang bisa saya tuliskan ketika ada seorang teman yang
awam tentang sastra bertanya. Saya menganggap dunia sastra (terlepas dari
legitimasi 'sastra' yang sesungguhnya) adalah ruang pelarian paling nikmat dan
mudah. Bisa bayangkan anak kelas 3 SD menulis sebuah drama sebanyak 3 buku
hanya demi melarikan diri dari perpisahan yang tidak dia pahami kan? Itu adalah
sejarah diri saya yang menyedihkan karena mendadak saya harus berpisah dengan
orang paling berharga dalam hidup saya. Nenek. Saya melarikan diri dengan
menulis drama percintaan paling amatir demi melupakan rasa rindu dan frustasi
saya. Nenek adalah ibu dan ayah sekaligus buat saya. Itulah perpisahan kedua
paling mengguncang dalam hidup saya setelah perpisahan pertama dengan ibu
kandung saya sendiri diumur 9 bulan.
Pembaca setia saya:
teman-teman sekelas yang setia mengantri hari demi hari dan menunggu kelanjutan
hidup dan cinta tokoh-tokoh pelarian saya. Bahkan, ketua kelas yang membuat
saya cukup muakpun membisikkan perintah otoriternya "pokoknya, kamu wajib
minjemin aku lebih dulu daripada lainnya. Inget ya Ry.." Kebodohan sayapun
akhirnya menggiring saya mengantarkan buku cerita tersebut ke bangkunya. I
was truly regretted these silly moments. Tidak bisa saya bayangkan darimana
saya mendapatkan bahan referensi cinta yang teramat amatir tersebut selain dari
nyerinya perpisahan yang saya rasakan dan kemarahan saya pada umi dan abi
ketika itu.
Beberapa lama
kemudian, ketika saya menginjak bangku SMP saya tidak lagi menulis drama amatir
seperti yang biasa saya lakukan ketika SD. Tetapi, saya mulai menulis cerpen
dan mengirim beberapa untuk dipajang di Mading sekolah. Saya membaca lebih
banyak buku paket Bahasa Indonesia yang memuat berbagai cerpen dan dongeng
legenda untuk mengamunisi cerita-cerita saya. Sampai akhirnya saya jatuh cinta
pada Bahasa Inggris untuk pertama kalinya di bangku kelas 2 SMP dan berakhir
dengan menghapal lagu Westlife-My Love berulang-ulang. Saya lupa dengan
cerpen-cerpen saya hingga akhirnya saya mendiamkan semua cerita-cerita yang
tertulis setengah jalan.
SMA adalah momen
kedekatan saya dengan Thiya (teman yang sebenarnya sudah sekelas semenjak awal
SMP dulu). Dia menyarankan saya menulis puisi, dan saya menulis puisi. Referensi
saya? Dengan menyesal saya menjawab bahwa buku referensi dan inspirasi paling
besar dalam puisi-puisi saya adalah inventaris sekolah berupa Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan English Dictionary yang sampulnya entah kemana. Sekolah
tidak memiliki perpustakaan ataupun buku yang bisa dipinjamkan kepada siswa
selain dua kamus lusuh tersebut. Namun,
anehnya... Puisi-puisi yang saya tulis mencapai 10 buku tulis setebal 38
halaman. Beberapa disewa dan melayang menjadi surat cinta romantis ke sekolah
putra oleh teman-teman sekelas saya. Beberapa yang lainnya menjadi tulisan
paling dirindukan di mading-mading pesantren Kediri. Tak pernah sekalipun saya
kirimkan ke penerbit ataupun media massa semacam majalah, tabloid ataupun
koran.
Semua proses itu
mengantarkan saya menjadi mahasiswa Sastra Inggris. Saya mengharapkan semua
kreatifitas itu terwadahi dengan sempurna. Namun, ternyata harapan saya terlalu
muluk-muluk. Saya bahkan tidak pernah sekalipun menulis seperti sebelumnya
sejak datang ke kampus. Sistem dan kebijakan kampus sejenak membunuh
kreatifitas saya. Sampai akhirnya saya ketemu dengan syurga karya sastra klasik
di perpustakaan SAC milik fakultas Humaniora. Saya bertemu dengan orang-orang
yang bernasib lebih buruk dari saya di masa lalu dan menjadikan sastra sebagai
pelarian. Namun bukannya mereka terbebas karena telah menemukan pelarian, malah
sebaliknya mereka semakin terkubur dalam ketidakberdayaan karena bentuk
pelarian mereka dikecam pemerintah.
Dari sanalah saya
melakukan refleksi dan perenungan yang mendalam tentang semua yang pernah saya
lalui selama menjadi penulis amatir. Saya membongkar semua dokumen lama saya
dan menemukan bahwa puisi dan cerita-cerita yang saya tulis semenjak kecil tak
sedikitpun lepas dari perasaan saya yang diperas intisarinya. Perasaan sedih
dan kehilangan yang teramat dalamlah yang mengantarkan saya pada kedalaman
makna. Saya kepingin membongkar semua norma dan membebaskan diri demi mencintai
dan menyayangi sebanyak mungkin. Saya berkaca pada semua tulisan saya sendiri bahwa
ternyata kamus-kamus itulah pahlawan tak terbilang yang menuntun saya pada
bahasa yang rapi. Kamus lusuh tanpa kulit itulah yang bikin kesedihan dan
kutukan-kutukan dalam tulisan saya melayang dengan kesamaran yang sempurna.
Metafora-metafora yang dapatkan dari keterbatasanlah yang membawa saya berpijak
pada pemahaman yang dalam pada interpretasi.
Yogyakarta, 25
Oktober 2014
my flashback is the
way I strengthen my self from sorrow
Tidak ada komentar:
Posting Komentar