Mereka bilang ajal,
kematian, napas terakhir atau apapun namanya adalah sebuah dimensi paling
menakutkan bagi setiap kesiapan ataupun ketidaksiapan. Jangankan dimensinya,
pintu masuk menuju dimensi itu saja mereka bilang penuh dengan godaan,
kenikmatan, rasa sakit tak tertahankan dan sekaligus kerinduan tak terperi yang
menyenangkan. Entah seperti apa rasanya, suatu hari saya juga pasti akan
merasakannya pula. Tetapi, kematian apakah memang sebegitu mengerikannya kah?
Apalagi perbatasan menuju dimensi tersebut. Tidak adakah kata yang lebih
menyenangkan dan menenteramkan selain diksi 'sakit'?
Dulu ketika saya
masih kecil, Abi memberikan tausiah wajib pada putri-putrinya tentang alam
sesudah kehidupan. Dengan menggebu-gebu beliau mengatakan bahwa rasa sakitnya
tak terbayangkan. Jika digambarkan maka hasilnya adalah seperti dikuliti
hidup-hidup tanpa belas kasihan dengan catatan itu adalah perjalanan kematian
manusia pendosa. Namun, bagi manusia bertakwa maka gambarannya seperti seorang
yang sedang tertidur. Ia bahkan tidak menyadari bahwa kematian telah membawanya
jauh dari tubuhnya. Menyenangkan sekali berpindah dimensi seperti itu (dalam
bayangan saya). Hanya perlu tidur dan yakin esok akan terbangun seperti biasa
lalu tahu-tahu sudah berada di alam barzah. Sayangnya, seingat saya ketika itu
Abi hanya menceritakan sekali perihal menyenangkan tentang kematian dan
bagaimana manusia memasuki perbatasan antara dua dimensi tersebut. Selebihnya
adalah hal-hal menyeramkan yang sampai saat inipun saya selalu jengah mendengar
penjelasan tentang kematian dari Abi.
Beberapa orang yang
saya kenali, meninggalkan dunia yang saya kenali ini bahkan seperti tanpa
basa-basi. Tahu-tahu keluarganya melihatnya pucat pasi dan tubuhnya kaku tak
bernyawa. Ada pula yang sempat saya lihat cukup menyedihkan proses keluarnya
jiwa dari tubuh. Tubuh belum siap betul menerima kehadiran dimensi baru
sehingga ia meregang dan tegang (merujuk pada salah satu cerita Abi tentang
kematian manusia). Sejauh ini, itulah 'Rasa Dari Kematian dan Sakaratul Maut'
yang saya ketahui melalui tradisi lisan dan beberapa tulisan dan rujukan kitab
kuno. Entah mengapa, saya berpikir lain tentang kematian dan pintu gerbangnya.
Sebuah kehidupan lain yang lebih abadi dari kehidupan yang saya ketahui saat
ini.
Kematian, bagi
manusia, seperti sebuah dimensi paling gelap yang menyakitkan dan menakutkan.
Namun, satu hal penting yang terlewatkan adalah manusia menyadari rasa sakit
itu ketika ia merasa 'memiliki' kehidupan dan enggan beranjak dari kefanaan
hidup yang ia kenali saat ini. Ia tak menyadari satu hal yang sangat penting,
jiwa yang rindu pulang. Melalui rasa sakit hati yang manusia alami selama ia
hidup di dunia ini semestinya ia mulai belajar mengapa rasa sakit itu timbul
dan mengapa ia menyadari rasa sakit itu. Rasa sakit yang sebenarnya bukanlah
kematian (sebagai sebuah batas antara kehidupan satu dengan kehidupan lainnya),
tetapi keabadian (immortality). Bayangkanlah, kamu terjebak di sebuah kehidupan
tanpa siklus. Apakah yang terjadi?
Bagi saya, kematian itu
tak pernah ada. Yang ada adalah manusia yang berpindah dari satu kehidupan ke
kehidupan lainnya. Pintu gerbang sementara yang hanya sekian kedipan mata
itulah yang saya anggap sebagai sebuah kematian. Kematian sebuah raga. Jiwa
berkelana dari kehidupan satu ke kehidupan lainnya. Tak ada seorangpun yang
mengingat momen istimewa dan sakral ketika ia berada dilingkup rahim Ibu.
Namun, jiwa ada di sana. Bersatu dengan momentum pembentukan sel tubuhnya
sendiri. Mengetahui setiap detik ia berevolusi di dalam kehangatan rahim Ibu
dan rasa aman paling besar yang ia ketahui. Entah apa yang membedakan kelahiran
dan kematian. Keduanya, lagi-lagi menurut saya, adalah sebuah dimensi dimana
jiwa secara utuh bermetamorfosa menjadi dirinya sendiri, tanpa campur tangan raga.
Jiwa tahu siapa dirinya dan akan kembali kemanakah dia. Dia tahu persis hal apa
yang paling ia butuhkan. Karena itulah Tuhan meminjami jiwa manusia dengan
otak, agar ia merespon kebutuhan jiwa dengan suplai-suplai tertentu.
Ada hal paling
misterius yang selama ini membikin tanda tanya besar dalam benak saya. Hal ini
bermula ketika Abi berkata bahwa kenikmatan paling besar dan tak berbanding
dengan apapun adalah ketika jiwa manusia bersua dengan Sang Pencipta (sebuah
cerita ketika saya masih duduk di kelas MTs). Otak bebal saya yang sudah
tertancapi berbagai macam imajinasi mulai melantur tentang format Sang Pencipta
yang Abi maksudkan. 'Apanya yang nikmat kalau kudu mati dulu?!' ujar saya dalam
hati. Saya tidak tahu, tenyata untuk memahami maksud tersebut saya harus
berjalan sejauh ini dan merasakan terlebih dahulu sakitnya kerikil kegagalan.
Itupun hanya sekian pertanyaan yang mampu saya uraikan maksudnya (bisa dihitung
dengan jari dari satu tangan). Rasa rindu ingin bertemu itu pernah dan sempat
mampir di dalam diri saya, bukan ketika saya tengah shalat, berdoa, sakit
ataupun berada dipuncak bahagia. Anehnya, ia muncul setiap kali saya membaca,
memahami, dan meresapi sesuatu. Momen itu terjadi secara simultan ketika saya
berada di puncak rasa penasaran.
Sayangnya, momen itu
jarang sekali terjadi (kalau tidak mau dibilang tidak lagi terjadi). Mungkin
karena efek kontaminasi budaya yang melingkupi hidup saya sehingga perasaan itu
seingat saya muncul cuma sekali dalam hidup. Rasa penasaran yang saya rasakan
akhir-akhir ini tidak bisa membangkitkan apapun yang berkaitan dengan kerinduan
aneh itu (apa saya yang salah jalan ya?). Terlepas dari perasaan itu, pada
akhirnya, saya paham dengan apa yang Abi pernah katakan pada saya ketika itu.
Yogyakarta, 20 Oktober
2014
Pukul 02.41 (dini
hari yang panas sekali)
-- Saya cukup ngeri
dengan kata-kata yang saya tulis sendiri di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar