At The Point of Darkness

Itu terjadi pada tanggal 20 Oktober 2014 sejak sore hari. Saya tidak tahu jam berapa tepatnya, yang saya tahu sepertinya adzan Maghrib masih belum berkumandang. Yogyakarta diliputi kegelapan (mati lampu tepatnya) yang katanya juga sampai ke wilayah Semarang. Saat itu saya dalam perjalanan pulang dari mengajar privat anak-anak SMA ketika semua lampu lalu lintas tak ada satupun yang hidup. I just had a bad feeling about this.

Saya tiba di tempat kos tepat jam 6 sore dan baru tahu kalau ini bukanlah pemadaman rutin yang biasanya dilakukan PLN. Seluruh wilayah Jogjakarta dan Semarang terkena gangguang listrik. Yang pertama kali saya rasakan adalah: ketika hawa panas berada di titik lebih dari 30 derajat celsius ini, kenapa harus mati lampu ya Allah? Dengan kondisi seperti ini, saya mendadak benci pada diri sendiri yang tidak bisa nrimo ataupun sabar. Saya gagal ujian tahap pertama menahan amarah dan tidak qana'ah. Alhasil, saya tidak bisa tidur hingga pukul 2 pagi karena tubuh saya tidak bisa beradaptasi dengan hawa panas. Unfortunately, lampu lilin yang biasa saya gunakan mendadak habis dan buruknya saya tidak bisa beradaptasi dengan kegelapan. Air yang biasa saya pakai untuk menetralisir hawa panas juga macet karena selama ini kami mengandalkan sepenuhnya penggunaan listrik untuk mendongkrak sumber air bersih.

Pada saat-saat buruk seperti itu, saya tiba-tiba teringat pada kematian. Saya bertanya pada diri sendiri, beginikah rasanya detik-detik sakaratul maut itu, duh Rabby? Ketakutan dan depresi sampai menghanyutkan logika. Saya bahkan tidak bisa lari pada imajinasi-imajinasi tertentu yang membuat saya bahagia. Saat itu saya benar-benar tertekan sampai kesulitan bernapas. Demi menetralisirnya, saya mencoba berkomunikasi dengan salah seorang sahabat saya di ujung sana. Mengajaknya bercanda dan mencoba bergembira sedikit-demi-sedikit. Tetapi, teks pesan tersebut terasa kaku dan semakin membuat saya sendirian di kegelapan. Perlahan saya mulai menyerah dan mencoba tidak berperang dengan kegelapan, rasa takut dan ketidaknyamanan yang sudah mendominasi setiap sel tubuh dan jiwa saya. Saya membayangkan sesuatu. Sesuatu yang cukup kuat sampai akhirnya saya jatuh tertidur dan bermimpi tentang hal tersebut. Masa kecil.

Saya terkejut sampai terbangun tatkala lampu kembali hidup dan kipas angin saya berputar-putar menyapu kamar. Saya mendapati pintu kamar saya masih terbuka dan terjanggal kaki kiri saya. Saya tidak tidur di kasur, tetapi tepat di depan pintu kamar.

Yogyakarta, 21 Oktober 2014
Pagi harinya, saya juga mendapati tubuh saya demam ringan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar