'Saya kepingin punya
waktu lebih dari 24 jam' ucap teman saya lewat pesan singkat.
'Untuk apa?'
'Untuk mengerjakan
tesis'
Saya sejenak
berpikir, bukankah 24 jam itu ukuran waktu berdasarkan jam yang kita percaya
sebagai jam dinding, jam weker, jam tangan, jam digital, dan sahabat-sahabatnya
atau dalam istilah singkatnya saya menyebut sebagai 'clock'. Setahu saya,
manusia memiliki waktu lebih dari 24 jam terhitung semenjak ia terlahir di
dunia. 24 jam itu sehari semalam dan manusia memiliki waktu lebih dari sehari
semalam dalam hidupnya. Dulu, saya pernah meminta pada Allah untuk mendapatkan
waktu lebih dari 24 jam sehari dan lebih dari 7 hari selama seminggu. Dia
mengabulkannya dengan cara membalikkan logika yang saya percayai selama ini.
Bahwa ternyata saya sudah hidup selama 25 tahun (asumsikan sendiri berapa
jamkah 25 tahun itu). Yang saya rasakan saat meminta waktu 24 jam sehari itu
cuma rasa frustasi karena ada beberapa pekerjaan yang belum terselesaikan.
Karena itulah berpikir sekian detik tanpa menghasilkan sebuah produk membuat
saya berasumsi bahwa waktu cepat sekali berlalu.
Kembali pada kasus
teman saya di atas. De javu. Dia sibuk sekali sejak mendaftar menjadi seorang
guru. Setahu saya, waktu yang ia gunakan kebanyakan untuk mengurus anak-anak
sekolah sampai tidak punya waktu untuk diri sendiri (sepertinya demikian).
Entah itu perasaan saya yang keliru atau sebaliknya, saya merasa teman saya
yang satu itu tidak benar-benar menikmati hidup yang tersaji di hadapannya.
Saya yang sok tahu bisa jadi akan dihujani tatapan sinis dan prasangka buruk
saat dia tahu saya mengatakan hal ini. Atau mungkin dia dengan spontan mengatakan
semuanya lho baik-baik saja, saya senang sekali dengan jalan yang saya lalui
kini. Dengan jalan pikirannya yang demikian itulah dia membutuhkan waktu lebih
dari 24 jam sehari.
Saya memberinya
solusi mudah untuk membuat waktu tidak jadi 24 jam. 'Setelah pukul 24.00 kamu
jangan menghitungnya kembali ke angka 1 lagi, tetapi lanjutkan menjadi 25, 26
dan seterusnya'. Pagi harinya ketika saya bertanya apakah asumsi yang saya
tawarkan tersebut berhasil atau tidak, dia menjawab singkat 'smart thinking'.
Artinya, dia belum berhasil menjadikan hidupnya lebih santai dan nikmat. Dia
menjawab demikian karena mengapresiasi pemikiran cerdas yang saya utarakan,
tanpa berpikir lebih jauh untuk mempraktikkannya. Cukup sulit membalik ideologi
tentang jam dan waktu yang tertanam mapan di dalam benak manusia. Namun, jika
teman saya itu mau dan bertekad dengan sadar maka yang terjadi adalah tidak ada
hal yang tidak mungkin terjadi.
Yogyakarta, 23
Oktober 2014
Tulisan ngawur di
pagi buta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar