Masih Ahad, di
tanggal yang sama
(Menit-menit berharga
menuju pergantian dimensi waktu malam ke tengah malam)
Finally, I drunk but
I still thirsty...
Pada intinya saya mau
bilang kalau saya itu sudah minum bergalon-galon air mineral (bahkan bisa
dibilang mabok), tapi sayangnya saya masih haus juga. Kurang sehatkah air
mineral yang saya tenggak? Bagian manakah yang keliru saya perhitungkan? Kalau
kepingin tahu ekspresi saya ketika membaca Gelombang ya kurang lebih demikian.
Pertanyaan kenapa saya begitu obsesif pada novel satu ini yang kurang lebih
juga sama dengan pertanyaan di atas.
Ketika pertama kali
saya membaca sepatah gambaran tentang Gelombang dibagian akhir buku Partikel,
pikiran saya menangkap makna elemen air yang menjadi inti utama dibalik
karakter Thomas Alfa Edison yang dibangun oleh Dewi Lestari. Saya mendadak
teringat pada ucapan salah seorang sahabat saya tentang Dee. "Dee itu melihat
sesuatu dari arah yang berbeda dengan kebanyakan mata melihat, karena itulah
karakternya manusiawi sekali memperlakukan dirinya sendiri." Saya sepakat
dengan perkataannya. Pintu, bagi Dee, bukan cuma sepapan kayu yang bisa dilihat
dari luar ataupun dalam, tetapi dari atas, bawah, samping, bahkan dari
sudut diluar ruang samping, atas, bawah,
luar dan dalam.
Saya banyak
terinspirasi untuk mempelajari dunia metafisik dari perjalanan karakter Dee di
dalam karya-karyanya. Meskipun akhirnya saya bisa menarik garis besar
karya-karyanya sebagai sebuah perjalanan reinkarnasi dan spritualitas agama
Buddha yang Dee yakini. Supernova adalah titik awal pemberontakan sadar saya
pada aturan (hahahahahaha). Awalnya saya membaca serial pertama Supernova
sebanyak tiga kali dan bolak-balik buka KBBI demi memahami istilah-istilah
baru, termasuk memahami hubungan 'queer' yang pertama kali saya temui di dalam
karya sastra (Dimas & Reuben). Sejak itulah saya mulai beradaptasi dengan
berbagai keanehan dalam dunia manusia. Lalu kemudian, saya berani meletakkan
hidup saya pada sepotong buku Dee yang terletak di rak paling pojok deretan
buku Novel dan Sastra. Meletakkan hidup? Yap, saya mempertaruhkan uang makan
saya selama seminggu demi membeli buku berwarna hijau tua dengan sampul tebal
berjudul Rectoverso (hahahahaha, ketawa lagi).
Baiklah, kembali ke
poin awal tentang Gelombang. Jujur, saya menghabiskan waktu sekitar 8 jam
membaca novel yang tebalnya sekitar 474 halaman. Saya mencerna dengan baik
setiap kalimat yang tertulis di sana kayak mencerna makanan ketika sedang sakit
demam. Memasang pemancar logika paling sadar untuk memahami arah dan plotnya
meskipun posisi membaca saya masih berpusar di seputar gulung sana-gulung sini
di atas kasur. Entah mengapa saya mulai menganggap bahwa novel satu ini kayak
jatah makan saya selama sebulan. Saya harus menikmatinya setiap hari demi
mengenyangkan kebutuhan tubuh dan energi. Bedanya, kalau jatah makan, sekali
tandas ia tak akan ada sisa. Sedangkan Gelombang, saya bisa membacanya
energinya setiap hari, setiap saat saya butuhkan tanpa harus khawatir ia
tandas.
Pada pagi-pagi yang
bisa dibilang masih cukup buta, saya perlahan galau karena jatah makan saya
mendadak hanya tinggal tidak lebih dari seperenam dari halaman total. Saya
belum siap kehilangan kesan pertama. Persis kayak di film-film drama Korea,
saya mendadak dicegat di tengah jalan tepat ketika kumparan keingintahuan saya
memuncak dan hampir meledak. Ekspresi saya berikutnya adalah, berteriak 'HYAA'
cukup keras bersaing dengan suara kokok ayam tetangga sebelah. Selanjutnya
menggulung-gulung tubuh saya ke kanan-kiri tanda tak terima. Menakjubkan sekali
kegilaan saya yang satu ini.
Pukul 07.59 saya
tidak bisa membendung kegalauan saya gara-gara Gelombang mendadak surut tanpa
angin, badai, ataupun gempa bumi di bawah laut. Satu-satunya pelerai kegalauan
saya adalah mengatakan pada salah seorang sahabat saya 'Gelombang. Do you know
what 'he' did to me? He killed me at the point in which I got curious badly'.
Dia benar-benar hidup dan membuat patah hati. Dia membuat saya menunggu
kehausan sekitar 2 tahun lebih demi air mineral 8 jam. Tidakkah itu menyedihkan
sekaligus menyenangkan? Tapi, tak mengapa setidaknya saya menunggu sesuatu yang
pasti lahir dan ada.
Dear, Intelegensi
Embun Pagi
Reverently, I will
waiting for your born
Thank you Dee, I hope
someday I meet you fortunately in person then we talk just like best friends
who never met before.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar