She Is Uni-Chan and She Is Nining, My Friends...

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya tidak memiliki banyak sahabat seperti yang diperkirakan orang-orang. Sahabat sesungguhnya yang dalam terma hidup saya adalah orang yang menjadi sahabat saya tanpa batas ruang (jarak) dan waktu (masa). Saya memiliki dua tokoh sahabat yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Dua orang ini saling mengenal satu sama lain, Nining dan Uni-Chan, karena kami satu angkatan di kampus. Mereka adalah dua manusia paling lengkap dan sempurna yang saya temukan di antara segerombolan manusia perfect lainnya.

Kami bertiga tidak berada di satu ruang yang sama. Saya di Jogjakarta, Uni di Malang, dan Nining lebih sering berada di Ngawi daripada bersama dengan Uni-Chan di Malang. Bisa kamu bayangkan kan betapa jauhnya jarak kami. Tetapi, ruang tak pernah menjadi pembatas untuk menegaskan bahwa kami adalah sahabat. Sahabat yang tanpa disadarinya memberi tahu pilihan apa yang mestinya saya ambil ketika situasi tengah genting. Sahabat yang menginspirasi bahwa kamu adalah manusia, maka janganlah bertindak seperti malaikat ataupun iblis. Tidak banyak orang yang bisa menginspirasi diri saya tentang hidup selain mereka berdua dan paduan ilmu pengetahuan yang saya dapatkan. Kalau saja Allah swt tidak menghadiahkan mereka dalam perjalanan saya di dunia ini, saya jamin kamu akan bertemu saya dengan titel just an ordinary girl.

But, I found myself more than just an ordinary human...
She is Uni-Chan,
Manusia pertama yang bikin saya percaya bahwa saya bukanlah sekedar perempuan muslim biasa yang terbatasi norma-norma sosial buatan manusia. Orang yang pertama kalinya bikin saya tahu bahwa kemarahan yang saya lontarkan pada orang yang salah bukanlah hal yang patut disesali. Sampai akhirnya, dia menggiring saya pada kesimpulan bahwa begitulah caramu menghargai diri sendiri. Siang tadi saya sempat mendapatkan pesan singkat darinya. Pesan yang jarang sekali mampir tetapi tidak mengubah persahabatan lama kami. Ternyata jeda itu benar-benar menakjubkan, Uni-Chan...

She is Nining,
Saya bahkan lupa alasan persahabatan dan bagaimana saya bertemu dengannya untuk pertama kali. Setelah sekian tahun, saya menyadari bahwa ternyata saya bertemu manusia paling mainstream dan setia dalam hidup saya. Dia tidak memiliki banyak teman seperti yang terjadi dalam hidup saya. Namun, dia adalah orang paling setia dan yang paling membuat hati saya hancur karena kesetiaannya. Sebentar lagi dia bilang akan menikah dan hal paling saya khawatirkan adalah: dia akan melupakan saya dan Uni-Chan. Kekhawatiran yang sebenarnya tidak cukup beralasan karena dia adalah manusia mainstream yang paling setia.

Yogyakarta, 25 Oktober 2014
I miss you badly

Actually, I Am The One Who Must Thanks To You

Uni-Chan (makan di warung soto langganan kita, sendirian)

Saya (Asalkan tidak sedang galau insya Allah tidak akan terlihat menyedihkan kok 'smile')

Uni-Chan (Sedang merdeka)... (like always I am)

Saya (memangnya pernah merasa terpenjara?)

Uni-Chan (sometime yes)... (apa kabar?)

Saya (Baik. watashi wa genki desu. anatawa?)

Uni-Chan (genki da yo~).... (its raining now, here).... (such a complete moment while the electricity is also turning off)

Saya (really? Aq kangen sekali dengan hujan... Di jogja tidak ada hujan 'sad' hahahaha... tapi kangennya gak pake lampu mati).... (bagaimana dengan nining? kuharap kalian bahagia)

Uni-Chan (never heard 'bout her)

Saya ('smile' bagaimana pekerjaan uni?)

Uni-Chan (three of us separated now).....(I once thought 'bout my job. I realized that I've never take jmy job seriously or with my total focus. So I never get my total succeed)........... (and now I ponder upon that better way to do my job seriously so I can get everything better. not just so so)

Saya (Hmm,,, yang penting kamu bahagia berada di MCW nanti hasilnya pasti akan maksimal. Qt bertiga sudah tidak disatu tempat lagi bukan berarti kita berpisah lho..)...... (meskipun sebenarnya aku su'udzan kalo Nining bakalan ngelupain kita duluan. hahahahaha)

Uni-Chan (hahahahaha... kamu pernah liat anime Hunter X Hunter. there is a boy named Gon. I like him so much. He says thay you need no qualification to be afriend of someone)...... (to be afriend, location and social level, is not a big deal)

Saya (I am titally agree with Gon. Q bahkan lupa kapan kita bertiga mulai dekat. Yang kutahu ujug-ujug kita berteman lekat meskipun jalan yang kita lalui benar-benar beda 'smile')..... (sayalah yang kudu terima kasih paling banyak sebenarnya)

Uni-Chan (tentang MCW, q menganggap keberadaanku disana sebagai dedikasi hidup)..... (thanks to help me finding something)........ (you are always you. always remain the same. miss you)

Saya (you inspiring me like usual... thank you so much)

Yogyakarta, 25 Oktober 2014
At noon
"Percakapan saya dan Uni lewat pesan singkat di siang hari"
Everything about her always inspiring me to be the better one

Something About My Study (Cultural Studies)

Saya ingat, setahun yang lalu saya masuk jurusan ini 'by accident' karena jurusan yang saya tuju tidak membuka pendaftaran di semester ganjil. Alhasil ketika saya menerima surat pemberitahuan kelulusan yang saya rasakan adalah keresahan bercampur dengan kegembiraan. Resah karena bukan jalan ini yang saya harapkan (sambil berpikir mana mungkin saya menikmati belajar materi yang tidak saya inginkan) dan gembira karena orang tua saya ternyata lebih bahagia berkali-kali lipat dari apa yang saya rasakan. Saya tidak tega memupus kebahagiaan umi dan abi yang terpancar sedemikian jelasnya di mata saya.

Akhirnya, saya meminta solusi terbaik dari Pencipta yang paling saya percayai lebih dari apapun. Berminggu-minggu saya bermunajah dengan berbagai cara semacam qiyamul lail, puasa sunnah, membaca Al Quran lebih lama dan meresapi setiap momen dimana saya akan mendapatkan petunjuk; hingga cara paling aneh sekalipun semacam berdialog dengan diri sendiri di depan cermin atau curhat pada plafon kamar sebelum acara tidur malam. Sampai akhirnya saya mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan apa yang telah saya mulai.

Pada sesi pengenalan subjek mata kuliah, ternyata 'kecelakaan' pengambilan jurusan tidak hanya dialami oleh saya seorang. Tetapi hampir semua teman seangkatan saya mengalami hal yang sama. Setidaknya saya bisa bernapas lega karena saya tidak 'kecelakaan' sendirian. Anehnya lagi, semua dosen-dosen pengampu mata kuliah jurusan ini mengatakan kalau 'kecelakaan' itu hal lumrah yang biasa mereka dengar dari mahasiswa. Saya jadi tepuk jidat dan menyesal kenapa beberapa waktu yang lalu saya sempat galau dan resah.

Setelah mengenali jurusan ini dengan lebih baik, bukannya saya melanjutkan rencana mutasi ke jurusan Susastra tapi malah jatuh cinta dengan kerumitan pola pikir dalam cultural studies yang saya dalami. Jurusan anti-mainstream ini sebenarnya bukanlah jurusan istimewa seperti yang kamu bayangkan. Tetapi jurusan ini lebih dari cukup untuk menumbangkan segala hal yang kamu percayai secara alamiah. Seperti misalnya kamu percayai secara alamiah bahwa perempuan itu tak perlu bekerja di ranah publik, karena perempuan mestinya hanya diberi jatah domestik saja. Namun ternyata di cultural studies semua yang dianggap alamiah itu hanya mitos belaka. Itulah gambaran mudahnya. Amunisi yang lebih dari cukup untuk memahami sastra lebih dalam dan transparan.

Talk with my self
Yogyakarta, 25 Oktober 2014

William Shakespeare

Kenalkah dengannya? Atau paling tidak pernahkan mendengar namanya? Dia adalah maestro sastra klasik paling populer dengan kisah roman dan tragedinya. Kalau pernah mendengar tentangnya, kamu pasti juga tahu kalau roman Romeo and Juliet adalah salah satu karyanya yang berlatar Venice, Italia pada sekitar abad ke 16. Benar! Kisah cinta romantis tragis antara dua anak manusia yang saling jatuh cinta. Kalau dipikir-pikir, kisah mereka mengingatkan saya pada kisah Laila Majnun yang populer di Persia bahkan menjadi literatur wajib yang harus dibaca oleh mahasiswa Sastra Arab.

Tahukah? Saya membaca kisah Romeo and Juliet itu ketika saya duduk di bangku SMP. Teks aslinya yang berupa drama terjemahan berbahasa Indonesia tak sengaja saya temukan di kantor guru ketika jam istirahat hampir usai. Buku tersebut bau karena hampir tak pernah disentuh, ia tergeletak di rak paling bawah. Saya bahkan bisa menyimpulkan kalau rak tersebut juga tak pernah dibuka oleh guru-guru. Saya membawanya ke kelas setelah meminta izin bagian tata usaha sekolah. 'Kalau kamu suka, tidak usah dikembalikan juga tidak apa-apa' imbuh beliau sebelum saya meninggalkan ruangan. Saya akan mengembalikannya, karena sepertinya ini buku yang cukup bagus.

Saya membaca teks drama tersebut selama tiga hari dengan mencuri-curi waktu tidur siang dan waktu belajar di malam hari. Apakah saya paham kisah roman seperti itu? Jujur saya jawab, saya tidak memahami bahasa drama yang ditulis dalam teks tersebut. Saya hanya memahami bahwa diluar sana ada sepasang kekasih yang dimabuk cinta dan merelakan apapun demi menumbuhkan kebahagiaan cinta mereka. Meskipun saya membacanya berulang kali saya tetap tidak memahami struktur kalimat yang tertulis di sana. Setelah cukup frustasi, akhirnya saya mengembalikan buku tersebut ke tempat semula dengan perasaan patah hati.

Tidak saya sangka kalau saya akan ketemu dengan Shakespeare kembali di masa-masa kuliah dan seiring waktu memahami jalan cerita drama tragis Romeo and Juliet lewat multimedia. Namun, ternyata Shakespeare tidak hanya hidup menulis satu drama tersebut, Ia juga dengan tragis dan penuh emosi menulis beberapa karya sastra yang berjudul Macbeth, King Lear, Hamlet dan beberapa tulisan lainnya. Kamu pasti pernah mendengar nama Macbeth kan? Saya berkali-kali menemukan nama 'Macbeth' dalam bentuk stiker manis yang tertempel di belakang helm pengendara motor. Berbeda dengan kisah dalam Macbeth, King Lear dan Hamlet memiliki kisah yang hampir serupa namun tetap menghilangkan esensi tragisnya. Mengapa tragis? Tentu saja itu tragis ketika semua kisah yang kita kenal dan kita nikmati seringkali berupa happy ending.

Kalau kamu membaca sejenak penggalan kisah King Lear dan Hamlet maka kamu akan ketemu dengan emosi paling manusiawi yang membuat seseorang akhirnya saling membunuh. Tetapi, bagi saya Shakespeare-lah manusia pembunuh paling emosional untuk semua tokoh-tokoh ceritanya. Tidak ada happy ending dalam kisah yang dibuat oleh Shakespeare, karena itulah kisah yang dihasilkannya berupa kisah-kisah tragis. Jika suatu hari nanti kamu memiliki waktu luang yang lebih banyak dari biasanya, cobalah membaca salah satu karya sastra paling fenomenal di abad pertengahan (Middle Age).

Yogyakarta, 26 Oktober 2014
I started my day with simple smile and hope