Ahad, 19 Oktober 2014
(Catatan pada sebuah
pagi buta di sisi utara kota Yogyakarta)
Beberapa hari yang
lalu saya mendapat pesan singkat dari sebuah toko buku langganan saya kalau
buku novel Gelombang karya Dee Lestari sudah bisa diambil di toko. Ketika saya
mendapat pesan tersebut saya tengah berada di koridor kampus yang cukup ramai
dan tahukah seperti apa ekspresi saya saat itu? Tanpa sadar saya bilang 'YES'
sekeras mungkin sambil tertawa. Kejadian itu kayak di luar kendali otak saya
(mungkin efek terlampaui rindu dengan karya Dee). Semua orang di koridor
menatap saya aneh sekilas, bahkan ada beberapa yang terkejut karena suara
bariton saya yang menggema di seluruh lorong.
Sepulang dari
mengajar privat, saya meluncur ke toko buku ditengah himpitan waktu Maghrib
yang mepetnya minta ampun. Saya tidak sabar ketemu 'anak itu', si Gelombang. Ketika
pertama kali melihat dengan sampul hitam misterius bersanding dengan simbol air
yang menggelombang, saya teriak-teriak kegirangan di dalam hati. Sepanjang
perjalanan pulang, saya tak berhenti berpikir tentang penantian saya yang aneh
selama ini. Sebegitu rindukah saya pada perjalanan sakral Dee lewat
novel-novelnya? Sebegitu hebatnyakah saya menunggunya sampai beberapa kali saya
tidak menyadari ekspresi reflek yang datang dari tubuh sendiri. Saya
tersenyum-senyum heran pada diri sendiri di sepanjang perjalanan pulang dari
toko buku ke tempat kos. Yang saya khawatirkan bukanlah ketidakwarasan saya,
tetapi lebih dari itu apa yang orang-orang pikirkan saat saya senyum-senyum
sendiri ketika berada diperhentian lampu merah?
Sesampai di tempat
kos, saya mengejar waktu untuk menunaikan shalat Maghrib secepat sambaran
kilat. Beruntung, shalat saya tidak menyentuh waktu Isya bahkan saya sempatkan
sujud lama di akhir rakaat demi terima kasih saya yang besar padaNya. Ketika
ada seorang teman kos yang datang ke kamar saya, dia melihat wajah saya yang
berbinar-binar.
'Kamu kenapa Ry? Lagi
jatuh cinta ya di jalan?'
Saya cuma
cengar-cengir sambil menunjukkan bungkusan Gelombang padanya. Dia hanya ber'O'
panjang sekaligus heran kenapa saya segitu bahagianya ketemu buku aneh yang gak
bergambar ini. Berkali-kali saya bilang padanya 'Ini Gelombang, mbak,
Gelombaaaang' sambil menekan volume ketika menyebut nama buku tersebut. Dia
tersenyum mengiyakan demi melestarikan kebahagiaan saya, katanya. Perilaku
berikutnya yang cukup aneh adalah badan saya gulung kesana-kemari di atas kasur
sambil bergumam 'yeyeyeyeye'. Bahkan, ketika saya menulis pengalaman saya itu,
keheranan dan keanehan tersebut membuat saya mendadak tercengang beberapa lama
di depan komputer. Segitu tidak warasnyakah saya selama menunggu Gelombang? Ada
apa di dalam sana?
Saya seperti
dimantrai oleh sebuah buku serial 'Supernova' bahkan semenjak 9 tahun lalu
(ketika pertama kali ketemu Supernova lewat pinjaman teman sekelas) dan diminta
untuk menunggu dengan sabar dan penuh harap tanpa terluka oleh ketidakpastian.
Tanpa terucap saya seperti diharuskan duduk manis sambil membayangkan pertemuan
dramatis saya dengannya. Membayangkannya seperti pertemuan kedua kekasih yang
saling rindu namun tak saling mengenal satu sama lain. Dan hasilnya setelah
ketemu adalah seperti yang saya katakan sebelumnya. Kegirangan yang hampir
mencapai klimaks kegilaan (hahahaha).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar