Dear,,, Hembusan Hujan




Dear, Hembusan Hujan…

Dulu saya kepingin jadi penulis, penulis novel, cerpen, puisi dan semacamnya. Kemudian keinginan itu tumbuh subur seiring waktu. Saya masih ingat betul novel pertama yang saya tulis ketika saya masih duduk di kelas 2 SD (novel tersebut kini sudah duduk manis di museum syurga, habis dibakar ummi). Ketika duduk di bangku SMA pun kegiatan menulis saya masih fokus pada puisi dan curahan hati lewat berbagai kata yang tidak tersusun dengan baik (terbukti siapapun yang membaca puisi saya akan bingung dan celingak-celinguk). Hampir setiap waktu saya meminjam Kamus Besar Bahasa Indonesia di perpustakaan sekolah (lebih tepatnya kantor sekolah, karena sekolah saya tidak punya perpustakaan. *menyedihkan) dan mempelajari sinonim serta antonym yang baku. Karena sekolah saya hanya punya buku-buku limited edition (limited karena memang tidak ada buku lain selain buku pelajaran usang dari tahun sebelum orde baru runtuh), akhirnya satu-satunya buku yang bisa saya pinjam hanya KBBI dan kamus Inggris-Indonesia karyanya pak Echols.

Setelah itu, saya merasa tidak memiliki ruang dan guru yang bisa membina saya lebih jauh tentang menulis akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang universitas. Keputusan yang benar-benar baru dalam sejarah keluarga saya. Setelah berates-ratus kali meyakinkan orang tua, akhirnya tibalah saya di dunia universitas. Namun, yang saya sesalkan adalah: ternyata saya berhenti bermimpi jadi penulis (*menundukkan kepala). Saya menyesalinya karena saya harus fokus pada kuliah dan pendalaman materi dunia perkuliahan. Saya memilih jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, namun saya tidak diajari menjadi seorang penulis tetapi diajari menjadi seorang pembedah karya sastra dan bagaimana mengapresiasinya. Itu agak mengecewakan saya, namun saya tetap masih memiliki mimpi-mimpi itu. Saya masih menulis banyak hal dan masih berpikir seribu kali untuk mengirimkannya ke penerbit.

Sampai saat inipun, ketika saya duduk manis di sudut perpustakaan UGM di Yogyakarta, saya masih berapi-api ingin menjadi penulis. Saya tidak memiliki motivator ulung yang benar-benar bisa meyakinkan saya untuk tetap melaju dengan semangat di jalan itu. Diri saya sendiri ternyata masih belum cukup, karena pada dasarnya saya masih belum bisa mengandalkan diri sendiri. Saya masih ingin menjadi penulis, seorang penulis yang karyanya bisa memberi inspirasi untuk orang lain sebagaimana seorang penulis memberi inspirasi dan cita-cita besar untuk saya.

Yogyakarta, UGM

10 September 2014, sudut perpustakaan

I Know,,, We're Friend (Sebuah Catatan Bawang Merah)




Si Malang Bawang Merah

Alkisah, dalam dongeng sebelum tidur yang seringkali kita dengar sewaktu kecil ada dua pasang remaja yang baik dan yang jahat. Si baik bernama bawang putih yang kemudian ayahnya menikah lagi bersama dengan seorang perempuan yang memiliki seorang putri bernama bawang merah. Bawang Merah, dalam mitologi dongeng masa kecil itu tergambar sebagai seorang gadis jahat yang pada akhirnya memiliki garis nasib menyedihkan. Sementara si bawang putih bahagia sejahtera dengan seorang pangeran.

Bawang Merah menangis tersedu dalam kisah. Tak diberi kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahannya. Sementara dibenak penonton ia terlanjur menjadi seorang gadis jahat. Tak ada yang tahu bahwa ia adalah manusia. Segumpal darah dan daging yang dibekali kebaikan dan kejahatan. Tak ada yang benar-benar paham bahwa kedua sisi tersebut tertanam dalam satu jiwa.
 
Bisa jadi ketika dongeng itu tertulis bawang merah tanpa sengaja tengah berdiri diruangan, memecahkan piring tanpa sengaja dan bawang putih tengah memungut perhiasannya yang terjatuh. Lalu, engkau datang tanpa aba-aba. Mengatakan bahwa yang berdiri dengan mata membelalak adalah si jahat dan sosok yang membungkuk dilantai dekat pecahan piring adalah sosok baik yang teraniaya. Hingga muncullah narasi ‘Bawang merah yang memaksa bawang putih membersihkan lantai’ sementara engkau tak tahu betul bagaimana kejadian persisnya.

Tak ada yang salah. Bawang merah ataupun bawang putih juga tak salah. Takdir juga tak layak diperdebatkan karena menghadirkan scenario sedemikian rupa. Namun, tak ada bawang putih yang bahagia bila tak ada kecemburuan bawang merah. Tak ada bawang putih yang bertemu pangeran bila tak ada rasa marah bawang merah. Bawang merah hanya menjadi dirinya. Merelakan punggung jiwanya terluka demi mennghadirkan kebaikan bawang putih ke hadapanmu. Tak mengatakan apapun tentang keantagonisan dirinya demi menyelamatkan keprotagonisan bawang putih. Ia diam dalam jurang yang telah disediakan secara khusus untuknya. Ia jujur menjadi dirinya sendiri demi saudara tirinya.

Langit semakin menjauh. Bawang merah terkubur sendirian di bawah sana. Semua orang mengatakan ia layak mendapatkannya. Tak memberinya kesempatan sejenakpun merasakan hangatnya ruang dunia dengan sinar matahari. Ia tak bisa pulang pada rumahnya sebagai manusia. Ia hanya layak mengakar dalam stigma seorang iblis yang harus terkubur jauh di dasar bumi.


Malang, 3 Agustus 2014

Stay or Move On…? It just a choice




Satu-satunya hal yang bisa membuatmu mendapatkan ketenangan pikiran adalah menerima apa yang sudah menjadi masa lalu dan mensyukuri apa yang kau miliki saat ini.
(Kungfu Panda 2, Poo)

Kalau mau jujur, sebenarnya saya masih belum bisa sepenuhnya melupakan dan melepaskan masa lalu itu. Tetapi, saya tak lagi bisa berdiri di depan pintu itu. Pintu yang dulu meminta saya untuk masuk, tetapi selangkah lagi sebelum saya datang ternyata pintu itu perlahan menutup di depan mata. Saya ingin mengerti mengapa demikian? Selama lebih dari dua tahun ini saya mengetuk dan berharap ada yang menjawab dari dalam. Namun, ternyata proses itu memakan separuh kebahagiaan dan menenggelamkan saya dalam rasa rindu berkabut tanpa arah. Saya tenggelam dalam badai selama itu. Herannya, saya menyadari bahwa saya hanya dibodohi dan terus berada di terasnya. Sesekali menyapa meskipun saya tetap tidak mendapatkan jawaban.

Di tengah-tengah badai itu, saya tahu betapa sebenarnya cuma airlah yang beriak. Sedangkan saya hanya harus mengikuti kemana arus ini membawa saya pergi. Saya menemukan sebuah barang usang yang kemudian berubah menjadi harta karun, diri saya sendiri. Saya tak menyesal pernah begitu dalam tenggelam dalam badai dan waktu. Karena pada akhirnya saya menyadari, ternyata keusangan itu menghilang seiring gelombang menyurut di suatu waktu. 

Saya telah mengatakan pada diri saya, bahwa saya telah berusaha mengetuk pintu itu dan hasilnya tak terjawab. Saya tak lagi memiliki kewajiban untuk berada di sana. Pemilik rumah tak bisa membukakan pintu karena suatu alasan yang tak saya pahami mengapa. Saya hanya harus melangkah pulang ke rumah. Kembali pada kehidupan semula yang biasa-biasa saja sambil sesekali melihat ke arah pintu itu. Tak memungkiri bahwa saya dulu pernah berlari dan terantuk-antuk di sana. Tersenyum penuh makna pada hidup, bahwa yang berharga adalah apa yang telah saya miliki saat ini. Sebuah rumah mungil dan indah bernama diri sendiri.

Yogyakarta
the last day of August 2014