Happy Birthday


Selamat ulang tahun, lagi..
Semoga hidupmu bahagia.
Semoga cintamu tetap seperti biasa
menyala dalam ruang-ruang doa

Hari ini, ulang tahunmu.. Kuucapkan lagi setiap tahun semenjak saat itu. Kapankah? Mungkin kamu lupa. Empat tahun yang lalu, tepatnya. Kita pernah saling menghujani diri dengan dilema dan rasa putus asa karena logika. Semua kemungkinan dan ruang-ruang impian telah termakan batasan dan kepasrahan yang terlampui dalam. Kau tak mengetuk, aku juga tak mengetuk. Kita sama-sama berada di depan pintu yang sama. Saling membelakangi dan menangis tanpa daya.

Hari ini, ulang tahunmu..
Berbahagialah tanpa syarat. Bahagialah, hanya itu satu-satunya hadiah yang pantas kau dapatkan. Bertahun-tahun kurajut rampai ini untukmu. Tanpa kau ketahui aku tengah sembunyi di sini. Sambil sesekali menatap jendela yang mengembun. Dikejernihannya aku memaku bayangmu.

Hari ini kau ulang tahun, sayang..
Tak perlu menyesali kesalahanpahaman itu. Jauh-jauh hari... aku telah memaafkanmu. bahkan, sebelum kau sempat mengatakan ketidakadilan itu. 

Selamat ulang tahun,,,
semoga aku tak terlambat.


Yogyakarta,
18 Juni 2014
Selamat ulang tahun untukmu

Just Like...


Dear Rabby...
seperti itukah saya dimata dan pikirannya?
Tidakkah dia ingin bertanya sebelum itu?


Today
18 June 2014

I Will Be


There's nothing I could say to you
nothing I could ever do to make you see
what you mean to me
All the pain, the tears I cried
still you never said goodbye and now I know how far you'd go

I will be by Avril Lavigne

I cant understand that it was so hard to leave. When you just come inside. Take risks and keep run. Hardly said that everything is okay, while I go weak inside. Every time I got hit, I just can said this is my fault. I keep you walk smoothly without any problem. Reassure that I thinking about you always.

Every time I shout louder, I really wanna make it. loving you just make me fall apart. push me away from my own step.. This time, with those big pain you drowned me deeper. With those prejudice I almost apparent to death. Still... I give you my pardon. I don't know why should be you.

#myself_it's okay

Run


I'll sing it once last time for you
then we really have to go
you've been the only thing that's right
in all I've done

And I can barely look at you
but every single time I do
I know we'll make it anywhere
away from here
(Run by Leona Lewis)

Aku ingin melupakan
Aku ingin melupakan
Aku ingin melupakan
tanpa tetapi tanpa tendensi

Yogyakarta
today, 17 June 2014

Trust


When you hold those words
without any doubts
without any understandings
without any feeling
no asking yourself, why?
......
Then,,,
What should I do?
I just can say that it is not right
You just believe another
not me...
Then,,,, what should I do?
I just know that I found my self fall apart

Jika aku kehilangan kepercayaanmu, apalagi yang bisa kuperbuat?
Kamu hanya terus berjalan ke depan, menatap jalan selurus-lurusnya. Melemparkan kerikil-kerikil dengan ujung sepatumu ke pinggiran. Tanpa tahu bahwa itu mengenai kaki-kakiku. Tanpa menyadari menutup pandanganku.

Yang kumiliki hanya sisa-sisa kenangan. Ia terus-menerus hidup tanpa arahan di dalam benakku. Sesekali membahagiakan, namun lebih sering ia menyakitkan. Jika kau hendak menenggelamkannya juga, apa lagi yang bisa kuperbuat?

Prasangka-prasangka itu membunuhku seharian. Mendorong hatiku ke titik yang lebih dalam. Tanpa bisa berbuat apapun. Dan kau tak bertanya apapun, sehingga aku juga tak memiliki kesempatan. Bodohnya, hatiku masih ingin memaafkan. Setulusnya. Sedalamnya. Yang membuatku lebih terluka. 


'tidakkah kau ingin bertanya?'
karena aku akan memberi jawaban

Prejudice

Jika rasa percayamu sudah hilang
apa lagi yang harus kuperbuat?

'Kamu baik-baik saja kan?' tanya hatiku, pada diriku sendiri
'I am okay...' jawabku menegas, menatap mataku sendiri dicermin.


Yogyakarta
17 Juni 2014

Ramadan


Selamat datang Ramadhan...
Saya sudah menunggumu lama sekali.
Bagaimana kabarmu?
Saya tak menyiapkan apapun untukmu. Tak perlu memberiku apapun, Ramadhan..
Karena aku hanya ingin pintu maghfirahNya saja yang terbuka untukku.

Marhaban Ramadhan
Hati saya tak lagi sebersih dulu ketika beranjak dari rahim ibu
bisa jadi lipatan-lipatannya kembali menebal sebagaimana ketika engkau datang dulu
tetapi,, tahukah?
Saya bahagia bersamamu dan kembali melewatkan malam-malam barakah bersamamu

Yogyakarta
10 Juni 2014
17 hari menuju Ramadan

Nightmare



How long I've waited, waited for you
To come back to hold me
What should I, what should I,
What should I do
When I feel so lonely

How could you do this to me
I won't let you hurt me again now

(The Waiting One -- All That Remains)

Entah sudah berapa kali saya bermimpi demikian. Bagimu mungkin itu hanya mimpi biasa saja. Sebuah dunia yang tak nyata milik semua orang. Atau mungkin kamu akan bilang bahwa semuanya hanya imajinasi belaka. Sungguhan, saya tak percaya. Mungkin perasaan saya saja yang meyakinkan. Kamu datang dengan jubah antagonis dalam sebuah permainan. Saya terpojok di dunia saya sendiri. Kamu mengambil alih semua kendali. Lalu kemudian di tengah malam saya harus terjaga dengan napas memburu dan keringat yang mendingin.

Saya tak ingin percaya itu semua. Tetapi hati saya membawanya hingga alam nyata. Bukan apa-apa. Kamu hanya pergi tanpa pamit. Itu saja yang sempat membuat terluka. Aku tahu, kesadaranku mulai terancam dengan ilusi-ilusi mimpi buruk itu. Aku ingin terbiasa melaluinya. Sama seperti ketika di masa lalu. Ketika semua perjalanan berat ini dimulai. Ketika waktu masih membelai dalam belia.

Tak hanya kamu, kawan. Dia juga demikian. Datang tanpa membawa apapun, lalu ia pergi membawa segalanya. Duniaku tak lagi utuh seperti sedia kala. Aku harus mempersiapkan segala kehilangan dan terluka. Aku juga masih harus menelan perihnya kesendirian. Lalu, bagaimanakah aku bercerita?


Yogyakarta
10 Juni 2014

So Soon

Hari masih seperti semula
Berputar, merotasi, tak berhenti
Waktu juga tak lelah mempertanyakan
Apa yang akan aku lakukan dengan tubuh kecil ini?
Kemarin sore, masih kurasakan bagaimana menikmati cinta dalam sekotak langit, denganmu
Lalu, subuh tadi engkau melepas tanganku
Mengatakan bahwa itu sudah waktunya
Melonggarkan genggaman dan tersenyum dalam kesedihan
Kau pergi terlalu cepat
Hingga tak sempat aku tersungkur dalam tangis
Kau pergi terlalu cepat
Sebagaimana yang dilakukan ayah di hari yang berlalu
Aku tak sempat berteriak dan mengatakanjangan pergi
Sebentar aku meringkih dalam hari-hari tanpamu
Sebentar aku tertawa dalam rasa rindu yang terbungkam
Tak bisakah kita bertemu suatu hari nanti?
Kau belum sempat menjawabnya, tetapi kau tersenyum samar
Aku menebaknya, pasti bisa
Lalu, subuh tadi engkau beranjak
Tak lagi memberi waktu yang lebih untuk hidup bersamaku dalam jalan ini
Tak tahukah? Kerikil esok hari terlalu besar untuk langkah kecilku yang sendiri
Engkau bilang kau akan menepuk pundakku lebih lama
Namun, kau menyerahkanku pada waktu yang dingin dan kelabu
Tidakkah kau tahu? Kau pergi terlalu cepat
Belum sempat kuukir hadirmu dalam palung kenanganku
Tapi subuh tadi kau ikut terhembus dengan embun malam
Kau pergi terlalu cepat...

 
Yogyakarta
My Greeny Room
Inspired by: Maher Zain's song --- So Soon

Where...?


"Dimana dia" tanyaku
"Di suatu tempat yang lebih baik dari tempat dimana aku berpijak saat ini" Jawab sahabatnya
"..................." aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi semuanya seakan berhenti ditenggorokan.
"Kamu rindu dia ya?"
"Tidak" aku berusaha sealamiah mungkin agar tidak ketahuan.
Ia tersenyum.
Aku tersenyum.
'Sangat rindu' jawabku dalam lubuk hati, berbisik pada waktu.
Ia menganggukkan kepala.
"Dia tahu. Hanya saja semua tak sesederhana yang sempat kamu pikirkan. Karena itu dia sedikit berlari ke arah yang berlawanan. Berusaha melupakanmu." Ia seakan-akan tahu apa yang kupikirkan.
Aku berusaha menghindari tatapan matanya.
"Aku tidak apa-apa. Aku bilang aku tidak merindukannya.." kataku sambil tersenyum, memaksa.
Dia menganggukkan kepala lagi
"Baiklah. Semoga kamu bahagia, Ry."
Dia pergi terhembus kesadaranku di tengah malam.

Oh, Rabby... itu hanya mimpi. Dan keringat dingin mulai menjalari tubuhku yang bergetar. Ruang kamarku sepi, hanya terdengar suara bising kesunyian yang diciptakan malam dini.

Pukul 02. 48 wib
Kantukku menghilang diterpa rasa sedih yang dalam. Ternyata, aku belum sembuh.
Kunikmati seduhan air wudhu, berharap Tuhan mengembalikanku pada kenyataan sekalipun pahit. Tak apalah, lama-lama perasaan ini pasti akan hilang. Mungkin butuh waktu yang lebih lama dari 2 tahun.

Di sujud malam itu, aku kembali bertekad akan melupakanmu. Sebuah tekad yang setiap waktu kuperteguh dalam sujud dan doa-doaku selama dua tahun ini. Sebuah niat yang kuperkuat dalam ruang-ruang belajarku. Aku berpikir, mungkin aku harus berusaha lebih keras lagi daripada ini.


Yogyakarta
Today, 5 June 2014
in my greeny room


Doa Lama....



Saya berumur 25 saat ini. Artinya saya sudah seperempat abad berada di dunia ini dan melalui perjalanan-perjalanan yang tak akan saya temui bila saya tidak dilahirkan atau menjadi manusia. Ngomong-ngomong tentang menjadi manusia, saya jadi teringat bagaimana semenjak kecil saya diajari untuk menjadi perempuan yang baik versi orang tua dan kakek-nenek saya. saat saya masih kecil nenek seringkali menegur ketika saya tidak rajin shalat. Menumpuk dosa dan bikin ndak shalihah di masa tua nanti. Saya yang saat itu belum sekolah dan bingung tentang makna shalihah itu apa akhirnya saya cuek saja dengan nasihat dan teguran nenek.


Beralih ke orang tua saya, ibu saya rajin sekali menuntun dan mengajari saya dan adik-adik untuk mengaji dan berdoa. Beliau tidak hanya marah ketika saya lebih memilih bermain daripada mengaji, tetapi juga menjewer telinga saya. Hal yang seringkali saya perhatikan ketika ibu selesai shalat wajib adalah bisik-bisik doanya dengan Allah swt lalu kemudian meniupkannya ke ubun-ubun kami. Saat saya teringat hal tersebut, saya kemudian bertanya apakah akhirnya saya menjadi manusia seperti yang diharapkan ibu saya ketika beliau meniupkan berkah agungnya di kepala saya? Atau paling tidak apakah saya menjadi perempuan shalihah yang kerapkali nenek ajarkan kepada saya? Saya tidak tahu. Lebih tepatnya saya tidak dapat menilai diri saya sendiri.


Subjektifnya, saya yang saat ini masih 100 persen mengandalkan orang tua untuk menjalani hidup meskipun sudah berumur seperempat abad begini tak menutup kemungkinan doa tersebut masih belum terkabul. Karena saya memang perempuan bebal yang tidak sama femininnya dengan perempuan-perempuan pada umumnya. 


Saya menyangka bahwa jalan menjadi manusia seperti yang diharapkan oleh ibu dan nenek saya adalah jalan seperti yang saya lalui saat ini. Menjadi seorang teroris bahasa dan pengkritik paling ulung bagi tindakan dan pola pikir orang lain yang menurut saya cukup tidak manusiawi. Tapi ternyata menurut orang lain itu salah. Terutama ketika kritikan saya bersangkut paut dengan masalah ekonomi politik para penguasa dan media. Bisa jadi orang-orang dibelakang tokoh yang saya kritik maju di garda terdepan untuk menangkis bola kritikan kiriman saya. Bahkan mengirim kritikan yang lebih pedas daripada koreksi yang saya lakukan. 


Menjadi manusia ternyata cukup sulit, bahkan tanpa cita-citapun atau embel-embel ‘ingin menjadi’ pun saya merasa itu adalah hal yang sulit. Tidak lucu kiranya jika pakaian fisik yang kita gunakan adalah manusia tetapi cerminan di dalamnya merujuk pada makhluk hidup lain. Saya sebutkan saja contoh konkritnya, yaitu saya sendiri. Saya kerapkali menjadi seperti seekor anjing yang beratribut manusia ketika saya berada dihadapan seseorang yang dapat menguntungkan posisi saya. Saya menggongong manis di depannya dan mencoba menjadi makhluk sesetia mungkin dalam pandangannya. Di lain waktu saya tiba-tiba berubah dalam bentuk lain namun tetap dengan pakaian fisik sebagai manusia.


Saya sempat berpikir, apakah Tuhan akan marah jika saya terus menerus melakukan hal ini? Oh, jelas. Nurani saya menjawab dengan mantab. Saya hendak menambahkan embel-embel ‘tetapi bagaimana jika saya setiap hari bertobat dan baca istighfar?’ ah, itu hanya modus belaka. Nurani saya dengan santai mengatakan demikian. Saya agak shock dan frustasi dengan dialog nurani saya tersebut, namun sedetik kemudian saya menenangkan diri. Toh, Tuhan kan Maha Pengampun. Tetapi tetap saja tidak bisa menutupi rasa frustasi saya. Saya simpulkan, ternyata saya belum bisa menjadi manusia seperti itu.


Alhasil, doa lama yang nenek saya ajarkan kepada ibu saya dan akhirnya menurun kepada saya masih saya bongkar-muat maknanya tentang manusia shalihah. Saya masih sangat rajin berdoa dengan khusyuk hingga saat ini agar menjadi perempuan shalihah versi sebenarnya. Karena saya berpikir entah saya menjadi apapun besok, saya tetap membutuhkan diri saya yang berjiwa manusia. Bukan manusia berjiwa mahkluk selain manusia karena itu bisa menyalahi aturan penciptaan yang Tuhan lakukan. Singkat cerita, meskipun proses tersebut memakan waktu yang cukup lama dan perjalanan yang rumit saya yakin akhirnya Tuhan tahu bahwa niat kita adalah menjadi manusia yang seperti itu. 


Sebuah catatan lama
inspired by. Samuel Mulia
Yogyakarta
11 Mei 2014

Friends and Close Friend...



Saya mengenal seorang teman selama lebih dari 5 tahun dan kemudian dia menjadi sahabat saya pada tahun ketiga kebersamaan kami. Kasus yang sama juga terjadi dengan dua orang teman sekelas saya ketika saya masih kuliah di S1 dulu. Kami menjadi sahabat pada semester kelima hingga hari ini. Apa yang membuat saya merasa cocok dengan mereka? Tidakkah saya orang yang mudah bergaul dengan siapapun dan bisa saja dengan mudah menjadikan ratusan teman jadi sahabat seketika tanpa harus menunggu sekian tahun?


Menurut penilaian subjektif saya adalah tipe manusia yang supel dan emosional. Kepribadian saya yang mudah marah dan mudah sekali memberikan stereotip negatif pada orang yang memberi kesan buruk pada pertemuan pertama menjadi sisi buruk yang saya sendiri juga ngeri. Namun, sisi buruk itu diterima dengan mudah dan baik oleh ketiga sahabat saya hingga saat ini. Mereka dengan mudah menyesuaikan diri mereka dengan keadaan saya yang serba bolong ini. Hal yang tidak bisa sepenuhnya saya pahami secara logis dari sisi lain manusia. Herannya, persahabatan kami bertahan hingga saat ini. Waktu yang cukup lama dibandingkan dengan waktu pertemuan dan komunikasi kami selama kami masih menjadi teman biasa (sebelum menjadi sahabat). 


Tabiat buruk saya yang sangat merugikan tersebut sepenuhnya tidak dapat saya kendalikan meskipun dengan tenaga kuda sekalipun. Sehingga setiap kali saya selesai marah-marah dan curhat pada sahabat saya tentang permasalahan saya, di saat yang sama pula saya juga ketakutan. Saya takut sahabat saya kemudian pergi dan tidak mau lagi bertemu atau berhubungan dengan saya. Rasa takut tersebut saya simpan rapat-rapat dalam wadah doa yang saya katakan pada Tuhan secara rahasia. ‘Ya Allah, jangan biarkan mereka pergi dari saya’ atau dengan alaynya mengatakan ‘Ya Allah, saya tak bisa hidup tanpa mereka’.


Hebatnya, karena saya berdoa setiap hari setiap waktu. Mereka tak jadi pergi kemanapun meskipun komunikasi kami bisa dibilang tidak terlalu intensif. Dengan semangat tawa yang agak licik saya berhasil mengerangkeng mereka untuk tetap jadi sahabat saya. Ironisnya, masalah hadir ketika tanpa aba-aba nurani saya muncul sebagai hakim tanpa bentuk. ‘Benarkah apa yang kamu lakukan?’. Saat si hakim ini bertanya saya selalu tidak punya jawaban yang pas dan akhirnya saya pun tidak bisa tidur. 


Sedemikian besarkah rasa takut saya hingga saya memaksa mereka untuk tetap tinggal sementara bisa jadi mereka terpaksa jadi sahabat saya atau sudah tidak mau lagi jadi sahabat saya. Lebih buruk lagi mereka enggan bertemu saya atau mengingat saya.

Setelah perdebatan panjang dengan nurani yang menghabiskan jatah waktu tidur malam akhirnya saya menyadari satu hal. Pantaskah saya memaksa mereka tinggal di dekat saya sementara saya selalu menuntut mereka untuk memahami saya tanpa saya memahami mereka? Sudah sepatutnya Allah tidak mengabulkan doa saya meskipun saya sujud berjam-jam atau susah payah bangun malam untuk qiyamul lail. Allah tidak bodoh untuk mengetahui maksud saya yang egois dan terselubung ini.


Sahabat saya yang tak merasa saya bully dengan doa-doa saya pun akan marah jika tahu saya memaksa mereka menjadi bagian dari hidup saya. Saya sepenuhnya melupakan kemanusiawian makna hubungan saya dengan mereka. Dengan egois saya menginginkan pemahaman sepenuhnya dan sesempurna mungkin tanpa ingin rugi sedikitpun. Jika demikian, pantaskah saya menjadi manusia yang disebut sebagai sahabat? Nurani saya lagi-lagi menjawab dengan bertenaga. Tidak.


Mengertikah?


Beberapa waktu yang lalu saya dan sahabat saya sempat berbincang lewat telepon. Saya yang tidak mau diduakan ini menjadi sangat sensitive ketika sahabat saya lama tidak menghubungi atau bahkan lupa berbagi curhat dengan saya. Saat itu saya meminta satu hal padanya, ‘Kalau gue wisuda, elo dateng ya boi. Masa gue wisuda sendirian’. Pada dasarnya yang saya harapkan bukanlah kehadirannya yang benar-benar sungguhan. Kecewanya, saya mendapat jawaban yang diluar dugaan. ‘Sori boi, gue banyak kerjaan. Maklumlah, gue kan udah di zonanya pemerintah. Gak bisa asal cabut. Gue kirim doa aja ya’. Saya lemas dan bertanya pada diri saya sendiri. Inikah teman itu?


Selama sekian tahun saya hidup dan bertemu dengan berbagai macam orang, saya sudah terbiasa menjadi kecewa atau sedih karena keadaan tertentu yang tidak menguntungkan saya. Namun, ketika saya dihadapkan pada persoalan persahabatan permasalahan yang saya hadapi menjadi kompleks. Mungkin alasannya bisa dibenarkan dan pernyataan kehadirannya yang berhalangan memang tidak bisa dipungkiri. Tetapi, bagi saya itu tetaplah salah karena urusan yang saya sebut persahabatan tadi. Saya berpikir tidakkah menjengkelkan sekaligus menyedihkan jika harus kecewa jauh-jauh hari daripada kecewa seketika pada hari itu juga.

Saya selalu lemah pada pengertian mengenai pemahaman. Hal itu sulit karena memang beginilah liku hidup sebenarnya. Selalu ada ruang untuk kecewa dan bahagia serta berbagai macam ekspresi hati lainnya. Kecewa sebagai pengingat bahwa saya pernah bahagia begitu pula sebaliknya.


Catatan lama
Yogyakarta
11 Mei 2014