Friends and Close Friend...



Saya mengenal seorang teman selama lebih dari 5 tahun dan kemudian dia menjadi sahabat saya pada tahun ketiga kebersamaan kami. Kasus yang sama juga terjadi dengan dua orang teman sekelas saya ketika saya masih kuliah di S1 dulu. Kami menjadi sahabat pada semester kelima hingga hari ini. Apa yang membuat saya merasa cocok dengan mereka? Tidakkah saya orang yang mudah bergaul dengan siapapun dan bisa saja dengan mudah menjadikan ratusan teman jadi sahabat seketika tanpa harus menunggu sekian tahun?


Menurut penilaian subjektif saya adalah tipe manusia yang supel dan emosional. Kepribadian saya yang mudah marah dan mudah sekali memberikan stereotip negatif pada orang yang memberi kesan buruk pada pertemuan pertama menjadi sisi buruk yang saya sendiri juga ngeri. Namun, sisi buruk itu diterima dengan mudah dan baik oleh ketiga sahabat saya hingga saat ini. Mereka dengan mudah menyesuaikan diri mereka dengan keadaan saya yang serba bolong ini. Hal yang tidak bisa sepenuhnya saya pahami secara logis dari sisi lain manusia. Herannya, persahabatan kami bertahan hingga saat ini. Waktu yang cukup lama dibandingkan dengan waktu pertemuan dan komunikasi kami selama kami masih menjadi teman biasa (sebelum menjadi sahabat). 


Tabiat buruk saya yang sangat merugikan tersebut sepenuhnya tidak dapat saya kendalikan meskipun dengan tenaga kuda sekalipun. Sehingga setiap kali saya selesai marah-marah dan curhat pada sahabat saya tentang permasalahan saya, di saat yang sama pula saya juga ketakutan. Saya takut sahabat saya kemudian pergi dan tidak mau lagi bertemu atau berhubungan dengan saya. Rasa takut tersebut saya simpan rapat-rapat dalam wadah doa yang saya katakan pada Tuhan secara rahasia. ‘Ya Allah, jangan biarkan mereka pergi dari saya’ atau dengan alaynya mengatakan ‘Ya Allah, saya tak bisa hidup tanpa mereka’.


Hebatnya, karena saya berdoa setiap hari setiap waktu. Mereka tak jadi pergi kemanapun meskipun komunikasi kami bisa dibilang tidak terlalu intensif. Dengan semangat tawa yang agak licik saya berhasil mengerangkeng mereka untuk tetap jadi sahabat saya. Ironisnya, masalah hadir ketika tanpa aba-aba nurani saya muncul sebagai hakim tanpa bentuk. ‘Benarkah apa yang kamu lakukan?’. Saat si hakim ini bertanya saya selalu tidak punya jawaban yang pas dan akhirnya saya pun tidak bisa tidur. 


Sedemikian besarkah rasa takut saya hingga saya memaksa mereka untuk tetap tinggal sementara bisa jadi mereka terpaksa jadi sahabat saya atau sudah tidak mau lagi jadi sahabat saya. Lebih buruk lagi mereka enggan bertemu saya atau mengingat saya.

Setelah perdebatan panjang dengan nurani yang menghabiskan jatah waktu tidur malam akhirnya saya menyadari satu hal. Pantaskah saya memaksa mereka tinggal di dekat saya sementara saya selalu menuntut mereka untuk memahami saya tanpa saya memahami mereka? Sudah sepatutnya Allah tidak mengabulkan doa saya meskipun saya sujud berjam-jam atau susah payah bangun malam untuk qiyamul lail. Allah tidak bodoh untuk mengetahui maksud saya yang egois dan terselubung ini.


Sahabat saya yang tak merasa saya bully dengan doa-doa saya pun akan marah jika tahu saya memaksa mereka menjadi bagian dari hidup saya. Saya sepenuhnya melupakan kemanusiawian makna hubungan saya dengan mereka. Dengan egois saya menginginkan pemahaman sepenuhnya dan sesempurna mungkin tanpa ingin rugi sedikitpun. Jika demikian, pantaskah saya menjadi manusia yang disebut sebagai sahabat? Nurani saya lagi-lagi menjawab dengan bertenaga. Tidak.


Mengertikah?


Beberapa waktu yang lalu saya dan sahabat saya sempat berbincang lewat telepon. Saya yang tidak mau diduakan ini menjadi sangat sensitive ketika sahabat saya lama tidak menghubungi atau bahkan lupa berbagi curhat dengan saya. Saat itu saya meminta satu hal padanya, ‘Kalau gue wisuda, elo dateng ya boi. Masa gue wisuda sendirian’. Pada dasarnya yang saya harapkan bukanlah kehadirannya yang benar-benar sungguhan. Kecewanya, saya mendapat jawaban yang diluar dugaan. ‘Sori boi, gue banyak kerjaan. Maklumlah, gue kan udah di zonanya pemerintah. Gak bisa asal cabut. Gue kirim doa aja ya’. Saya lemas dan bertanya pada diri saya sendiri. Inikah teman itu?


Selama sekian tahun saya hidup dan bertemu dengan berbagai macam orang, saya sudah terbiasa menjadi kecewa atau sedih karena keadaan tertentu yang tidak menguntungkan saya. Namun, ketika saya dihadapkan pada persoalan persahabatan permasalahan yang saya hadapi menjadi kompleks. Mungkin alasannya bisa dibenarkan dan pernyataan kehadirannya yang berhalangan memang tidak bisa dipungkiri. Tetapi, bagi saya itu tetaplah salah karena urusan yang saya sebut persahabatan tadi. Saya berpikir tidakkah menjengkelkan sekaligus menyedihkan jika harus kecewa jauh-jauh hari daripada kecewa seketika pada hari itu juga.

Saya selalu lemah pada pengertian mengenai pemahaman. Hal itu sulit karena memang beginilah liku hidup sebenarnya. Selalu ada ruang untuk kecewa dan bahagia serta berbagai macam ekspresi hati lainnya. Kecewa sebagai pengingat bahwa saya pernah bahagia begitu pula sebaliknya.


Catatan lama
Yogyakarta
11 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar