Saya berumur
25 saat ini. Artinya saya sudah seperempat abad berada di dunia ini dan melalui
perjalanan-perjalanan yang tak akan saya temui bila saya tidak dilahirkan atau
menjadi manusia. Ngomong-ngomong tentang menjadi manusia, saya jadi teringat
bagaimana semenjak kecil saya diajari untuk menjadi perempuan yang baik versi
orang tua dan kakek-nenek saya. saat saya masih kecil nenek seringkali menegur
ketika saya tidak rajin shalat. Menumpuk dosa dan bikin ndak shalihah di
masa tua nanti. Saya yang saat itu belum sekolah dan bingung tentang makna
shalihah itu apa akhirnya saya cuek saja dengan nasihat dan teguran nenek.
Beralih ke
orang tua saya, ibu saya rajin sekali menuntun dan mengajari saya dan adik-adik
untuk mengaji dan berdoa. Beliau tidak hanya marah ketika saya lebih memilih
bermain daripada mengaji, tetapi juga menjewer telinga saya. Hal yang
seringkali saya perhatikan ketika ibu selesai shalat wajib adalah bisik-bisik
doanya dengan Allah swt lalu kemudian meniupkannya ke ubun-ubun kami. Saat saya
teringat hal tersebut, saya kemudian bertanya apakah akhirnya saya menjadi
manusia seperti yang diharapkan ibu saya ketika beliau meniupkan berkah
agungnya di kepala saya? Atau paling tidak apakah saya menjadi perempuan
shalihah yang kerapkali nenek ajarkan kepada saya? Saya tidak tahu. Lebih
tepatnya saya tidak dapat menilai diri saya sendiri.
Subjektifnya,
saya yang saat ini masih 100 persen mengandalkan orang tua untuk menjalani
hidup meskipun sudah berumur seperempat abad begini tak menutup kemungkinan doa
tersebut masih belum terkabul. Karena saya memang perempuan bebal yang tidak
sama femininnya dengan perempuan-perempuan pada umumnya.
Saya
menyangka bahwa jalan menjadi manusia seperti yang diharapkan oleh ibu dan
nenek saya adalah jalan seperti yang saya lalui saat ini. Menjadi seorang
teroris bahasa dan pengkritik paling ulung bagi tindakan dan pola pikir orang
lain yang menurut saya cukup tidak manusiawi. Tapi ternyata menurut orang lain
itu salah. Terutama ketika kritikan saya bersangkut paut dengan masalah ekonomi
politik para penguasa dan media. Bisa jadi orang-orang dibelakang tokoh yang
saya kritik maju di garda terdepan untuk menangkis bola kritikan kiriman saya.
Bahkan mengirim kritikan yang lebih pedas daripada koreksi yang saya lakukan.
Menjadi
manusia ternyata cukup sulit, bahkan tanpa cita-citapun atau embel-embel ‘ingin
menjadi’ pun saya merasa itu adalah hal yang sulit. Tidak lucu kiranya jika
pakaian fisik yang kita gunakan adalah manusia tetapi cerminan di dalamnya merujuk
pada makhluk hidup lain. Saya sebutkan saja contoh konkritnya, yaitu saya
sendiri. Saya kerapkali menjadi seperti seekor anjing yang beratribut manusia
ketika saya berada dihadapan seseorang yang dapat menguntungkan posisi saya.
Saya menggongong manis di depannya dan mencoba menjadi makhluk sesetia mungkin
dalam pandangannya. Di lain waktu saya tiba-tiba berubah dalam bentuk lain
namun tetap dengan pakaian fisik sebagai manusia.
Saya sempat
berpikir, apakah Tuhan akan marah jika saya terus menerus melakukan hal ini?
Oh, jelas. Nurani saya menjawab dengan mantab. Saya hendak menambahkan
embel-embel ‘tetapi bagaimana jika saya setiap hari bertobat dan baca
istighfar?’ ah, itu hanya modus belaka. Nurani saya dengan santai mengatakan
demikian. Saya agak shock dan frustasi dengan dialog nurani saya tersebut,
namun sedetik kemudian saya menenangkan diri. Toh, Tuhan kan Maha Pengampun.
Tetapi tetap saja tidak bisa menutupi rasa frustasi saya. Saya simpulkan,
ternyata saya belum bisa menjadi manusia seperti itu.
Alhasil, doa
lama yang nenek saya ajarkan kepada ibu saya dan akhirnya menurun kepada saya
masih saya bongkar-muat maknanya tentang manusia shalihah. Saya masih sangat
rajin berdoa dengan khusyuk hingga saat ini agar menjadi perempuan shalihah
versi sebenarnya. Karena saya berpikir entah saya menjadi apapun besok, saya
tetap membutuhkan diri saya yang berjiwa manusia. Bukan manusia berjiwa mahkluk
selain manusia karena itu bisa menyalahi aturan penciptaan yang Tuhan lakukan. Singkat
cerita, meskipun proses tersebut memakan waktu yang cukup lama dan perjalanan
yang rumit saya yakin akhirnya Tuhan tahu bahwa niat kita adalah menjadi
manusia yang seperti itu.
Sebuah catatan lama
inspired by. Samuel Mulia
inspired by. Samuel Mulia
Yogyakarta
11 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar