Membacamu, Ayah...


Aku yang terlambat memahamimu, ayah. Bukan, tetapi aku masih belum mampu memahamimu hingga detik ini berlanjut. Adakah yang lebih berhak kumuliakan daripada engkau dan ibu? Dalam hidupku, engkau tak bisa dan takkan pernah bisa tertukar dengan apapun. Hanya itu definisi tentangmu yang mampu kurekam sedekat ini. Aku belum bisa memaknai amarahmu dengan cinta selembut lembaran daun kering yang terjatuh. Aku belum mampu memaksakan hatiku memaknai diammu sebagai langkah lain engkau tunjukkan cintamu.


Ayah, adalah engkau yang selama ini menggenggam separuh perjalananku. Yang tak mampu kutukar bahkan dengan cinta terdalamku.


Cinta seperti apa yang engkau definisikan dalam lekang waktu selama ini? Hatiku belum mampu membacanya sejelas itu. Ada ego dalam fikirku yang menyekat pengertianku. 


Waktu demi waktu masih melajukan kasih sayangmu selembut renik debu. Aku tak mampu sehalus itu mencintaimu. Hanya mimpi sebagai hutang yang belum terbayarkan dalam penuh usiamu hingga saat ini. Egomu kuartikan sebagai kekacauan dalam binari hatiku. Kehendakmu kumaknai sebagai pengekangan yang tak memiliki arti.


Maafkan, bila ternyata kesalahan itu terlalu dini dan akhirnya meruncing terekam jelas oleh waktu. Cinta tak mampu kuhadirkan dalam tangis kemarahan seperti ini.


Ayah, bilamana engkau dan aku tak bisa berubah, bilamana kita masih berada jauh dipersimpangan ini diam-diam, dan bilamana aku masih sangat sulit membaca semua yang engkau berikan. Maka, hanya doa sebagai hujan terakhir yang meluruhkan segalanya.. 


Mimpi-mimpi ini, kupersembahkan untukmu sebagai tiket masuk pada firdausNya. Rumah yang engkau impikan pada daftar doa terakhir, diantara tumpukan mimpi demi aku dan hidupku yang membuat ramai ujung sajadahmu.




Malang, 26 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar