Her Wedding… (Eka Fitriyah Anggraeni)



Siapa yang pertama kali saya temui ketika saya tiba di MSAA? Kakak saya inilah jawabannya. Mungkin ia tidak ingat bagaimana saya akhirnya tahu namanya adalah ‘Eka Fitriyah’. Tapi saya selalu ingat bagaimana dulu ketika saya pertama kali memasuki sebuah asrama yang bernama Mahad ini, ia yang tersenyum kepada saya pertama kali dan memperkenalkan diri kepada saya dan abi. Saya suka senyum lepasnya yang tak dipaksakan. Terlihat ia sangat senang dengan sebuah kehadiran. Namanya panggilannya ‘Eka’ tapi abi mengejanya dengan ‘Ika’ (hihihi…)


Seusai pertemuan pertama itu, saya jadi lebih sering melihatnya mondar-mandir mengantarkan teman-teman yang lainnya. Lebih sibuk daripada yang lainnya, makanya saya tahu dia adalah orang yang aktif. Sampai akhirnya ketika saya merekomendasikan diri untuk yang pertama kali menjadi musyrifah, dia adalah orang pertama yang menegur saya dan bercanda di antara musyrifah-musyrifah baru yang belum saya kenali. Kecanggungan saya mungkin ia kenali dari sikap saya yang cukup pendiam.

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya bulan November, kakak saya ini menikah. Pernikahan yang membuat saya ingin duduk di sampingnya lebih lama. Sambil berpikir jauh, apakah setelah ini ia masih ingat dengan waktu-waktu yang telah kita lalui ya? Seusai ini, apa ia masih memiliki waktu yang lebih untuk sekedar menanyakan kabar kita dan kegiatan yang apa yang sedang menyibukkan kita ya?

Sementara pikiran saya berkecamuk tak mau diam, saya mencoba ingin menghadiahinya sebuah puisi yang tak selesai. Sebab mestinya kebersamaan kami tak menemui titik. Harus terus berjalan dan berlanjut sebagaimana waktu yang kian melaju. Pernikahannya adalah salah satu mimpi yang pernah ia list dalam diarinya. Bila terhitung, ia seringkali mengucapkan pada kami kalau ia ingin menikah dan menghalalkan sebuah perjalanan panjang yang tak bersisa. Ia ingin menikmati perjalanan di sebuah bahtera dengan segenap keyakinan. Mencari ridha Rabby dengan ikatan mulia ini.

Banyak sekali yang ia hadiahkan kepada saya seusai perjalanan ini. Hadiah-hadiah itu terasa maknanya ketika ia sudah tak lagi berada di tengah-tengah senda tawa kami. Hadiah yang masih menyimpan rindu kami untuknya. Saat kami mulai tak sejalan dan berbeda arah, terasa bayang-bayangnya merumpai membentuk sebuah tanda agar genggam tangan tak lagi lepas kendali. Bayang-bayang yang juga menyerta sebuah rindu untuk kembali bersama melangkah dalam jalan kecil ini.

Puisi yang tak selesai itu, saya coba selesaikan sebisa mungkin. Sebab, tak mungkin untuk selamanya bersama tanpa memperhatikan langkah masing-masing. Bersama yang mestinya terus mengikat batin demi indahnya sebuah pertemuan baru nantinya.

Pernikahan itu,
Tak banyak yang tahu bahwa di baliknya
Engkau menyimpan makna baru
Bahwa perjalanan setiap waktu tak pernah sama
Pernikahan itu,
Memuarakan rindu yang dahulu pernah kau simpan
Rapat dan padat di dalamnya lubuk hatimu
Ikatan itu,
Yang juga memenjarakan waktu sua
Menjadi sebuah tabungan untuk di tahan bersama rindu
Yang tak bernama
Yang tak terbahasa
Dan pernikahan itu,
Yang membawamu pada sebuah aral
Mimpi cinta yang perlahan engkau bangun
Dengan keikhlasan dan perjuangan
Yang tak menemui titik hingga hari ini

(Malang, 2012)

Doomo arigatou gozaimasu, ane-san…
Untuk semua senyum yang kau ajarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar