I Know,,, We're Friend (Sebuah Catatan Bawang Merah)




Si Malang Bawang Merah

Alkisah, dalam dongeng sebelum tidur yang seringkali kita dengar sewaktu kecil ada dua pasang remaja yang baik dan yang jahat. Si baik bernama bawang putih yang kemudian ayahnya menikah lagi bersama dengan seorang perempuan yang memiliki seorang putri bernama bawang merah. Bawang Merah, dalam mitologi dongeng masa kecil itu tergambar sebagai seorang gadis jahat yang pada akhirnya memiliki garis nasib menyedihkan. Sementara si bawang putih bahagia sejahtera dengan seorang pangeran.

Bawang Merah menangis tersedu dalam kisah. Tak diberi kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahannya. Sementara dibenak penonton ia terlanjur menjadi seorang gadis jahat. Tak ada yang tahu bahwa ia adalah manusia. Segumpal darah dan daging yang dibekali kebaikan dan kejahatan. Tak ada yang benar-benar paham bahwa kedua sisi tersebut tertanam dalam satu jiwa.
 
Bisa jadi ketika dongeng itu tertulis bawang merah tanpa sengaja tengah berdiri diruangan, memecahkan piring tanpa sengaja dan bawang putih tengah memungut perhiasannya yang terjatuh. Lalu, engkau datang tanpa aba-aba. Mengatakan bahwa yang berdiri dengan mata membelalak adalah si jahat dan sosok yang membungkuk dilantai dekat pecahan piring adalah sosok baik yang teraniaya. Hingga muncullah narasi ‘Bawang merah yang memaksa bawang putih membersihkan lantai’ sementara engkau tak tahu betul bagaimana kejadian persisnya.

Tak ada yang salah. Bawang merah ataupun bawang putih juga tak salah. Takdir juga tak layak diperdebatkan karena menghadirkan scenario sedemikian rupa. Namun, tak ada bawang putih yang bahagia bila tak ada kecemburuan bawang merah. Tak ada bawang putih yang bertemu pangeran bila tak ada rasa marah bawang merah. Bawang merah hanya menjadi dirinya. Merelakan punggung jiwanya terluka demi mennghadirkan kebaikan bawang putih ke hadapanmu. Tak mengatakan apapun tentang keantagonisan dirinya demi menyelamatkan keprotagonisan bawang putih. Ia diam dalam jurang yang telah disediakan secara khusus untuknya. Ia jujur menjadi dirinya sendiri demi saudara tirinya.

Langit semakin menjauh. Bawang merah terkubur sendirian di bawah sana. Semua orang mengatakan ia layak mendapatkannya. Tak memberinya kesempatan sejenakpun merasakan hangatnya ruang dunia dengan sinar matahari. Ia tak bisa pulang pada rumahnya sebagai manusia. Ia hanya layak mengakar dalam stigma seorang iblis yang harus terkubur jauh di dasar bumi.


Malang, 3 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar