Beautiful Freedom,,,


Dear straight people,
Who do you think you are?
Do you have to make it so obvious that I make you uncomfortable?
Why do I make you uncomfortable?
Do you know that makes me uncomfortable?
Now we both uncomfortable.


-- Denice Frohman 
 
Hari ini saya menulis status yang sama di akun facebook. Sebuah puisi yang cukup menggugah kesadaran saya selama ini. Ketika saya membaca puisi itu secara keseluruhan, yang terjadi adalah slide ingatan saya di masa lalu tentang mereka yang dengan 'sengaja' tersingkirkan. 

Slide pertama:
Saat itu saya duduk manis di kelas 2 SMP ketika teman sebangku saya mulai bercerita tentang hal yang sangat ia benci. Perilaku teman sekamarnya (di pesantren) yang cenderung menyimpang. Ia membenci karena ia baru saja mengetahui kalau ternyata teman sekamarnya itu seorang lesbian. Saya hanya mendengarkan saja dan diam dengan bodohnya karena tak tahu harus bagaimana. Curhatan itu kemudian tanpa sengaja terdengar oleh salah seorang teman sekelas saya yang lain. Dan akhirnya menimbulkan desas-desus yang membuat saya tidak nyaman berada di kelas tersebut.
-- Pada suatu ketika, saya pernah melihat teman sekamarnya tersebut berada di pojok ruang kelas. Menulis sebuah diary sambil menyeka air mata. Sesekali ia menoleh kanan-kiri takut-takut ketahuan kalau ia sedang menangis di jam istirahat.

Slide kedua:
Ketika salah seorang teman dekat mencurahkan isi hatinya. Hal yang membuat ia cukup muak karena ternyata di sekolah ada seorang guru yang memiliki different gender orientation. Ia berkata: kenapa harus seperti itu? Dia kan seorang guru. Mestinya memberi teladan yang baik bagi siswanya.

(Menghela napas panjang.. Karena tiba-tiba ingin sekali marah)
............
Lalu, kenapa?
Apa kita benar karena kita telah membicarakan orientasi seksual dan menyudutkannya di pojok ruangan? Apa kita juga benar karena telah membuat dia menangis? Atau jangan-jangan kita yang telah membikin dunia ini sedemikian mengerikan karena menciptakan perbedaan yang tak tertoleransi?

Bukankah kita ini manusia? Kitab-kitab suci kita bilang bahwa tak ada masalah dengan perbedaan. Rasul kita mencintai semua orang yang ada di dekatnya, bahkan musuh-musuhnya. Nabi kita tak pernah mengajari kita untuk menghakimi perbedaan orang lain, termasuk pilihan hidupnya. Mereka tahu apa yang mereka pilih. Kita mencari keutuhan kita dalam pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Mereka mencari keutuhan mereka dengan pilihan mereka sendiri. Bukankah itu saja sudah cukup memberi pemahaman bahwa dunia memang seperti ini.

Teladan? Bullshit... Apa kita telah memberi teladan yang baik pula pada anak-anak? Apa dengan membicarakannya diam-diam merupakan teladan bagi anak-anak? Apa dengan menghakimi orientasi seksual orang lain itu adalah sifat teladan? Ada hubungan apa antara memberi teladan yang baik dengan orientasi seksual?
Bisa jadi, dia adalah guru yang baik dan dicintai anak-anak. Namun, karena kita telah meletakkan dia di sebuah ruang yang benar-benar asing dalam dunia sosial kita, kita telah merubah cinta anak-anak menjadi sebentuk perasaan jijik dan muak.

(Long silence.....)
........

Kita sedang membicarakan diri kita. Jika heteroseksualitas menjadi sesuatu yang normal sedangkan di luar itu tidak normal, siapakah yang menjadikannya tidak normal? Diri kita. Allah itu tak pernah pilih-pilih antara laki-laki dan perempuan. Penafsiran kita dan ideologi kitalah yang membuat dunia ini tampak kacau. Berpikirlah lebih terbuka, karena sekali lagi Allah hanya menilai seseorang dari kualitas takwanya. Kualitas takwa itu tak cuma di dapatkan dengan shalat dan baca Al Quran di masjid, tetapi kualitas takwa yang bermakna kualitas hidup dan pemahaman kita. 

Rhie, Yogyakarta
21 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar